21 Januari 2019
Human Rights Watch mengatakan pada hari Sabtu bahwa serangan mematikan terhadap warga sipil di sebuah tempat ibadah di provinsi Narathiwat adalah kejahatan perang.
Pemberontak separatis menyerang kuil Rattananupharb di distrik Sungai Pai pada hari Jumat, menewaskan dua biksu, termasuk kepala biara.
“Serangan mengerikan terhadap biksu Buddha yang dilakukan pemberontak di wilayah selatan Thailand adalah tindakan yang tercela secara moral dan merupakan kejahatan perang, dan mereka yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Brad Adams, direktur HRW Asia.
“Kampanye pemberontak selama 15 tahun yang dengan sengaja menyerang warga sipil Budha dan Muslim tidak bisa dibenarkan.”
Phra Khru Prachote Rattanarak, kepala biara dan juga kepala biksu di distrik tersebut, ditembak dari jarak dekat dan meninggal di tempat.
Para saksi mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka melihat orang-orang bersenjata yang mengendarai sepeda motor tiba di kuil, melepaskan tembakan dengan senapan serbu, kemudian bergegas masuk dan menembak para biksu dari jarak dekat.
Serangan tersebut mengikuti pola yang konsisten dengan serangan pemberontak lainnya, sehingga menimbulkan ketakutan di distrik Su Ngai Padi dan wilayah lain di empat provinsi perbatasan selatan.
Pihak berwenang Thailand memerintahkan semua biksu Buddha di provinsi Pattani, Yala, Narathiwat dan Songkhla untuk tinggal di dalam kuil dan menghentikan rutinitas pagi mereka untuk mengumpulkan dana makanan.
Sejak pecahnya pemberontakan bersenjata pada bulan Januari 2004, pemberontak Barisan Revolusi Nasional (BRN) telah menargetkan kuil dan biksu Buddha, yang mereka lihat sebagai simbol pendudukan negara Buddha Thailand atas wilayah etnis Muslim Melayu. Setidaknya 23 biksu tewas dan lebih dari 20 lainnya luka-luka.
Para pemberontak juga menargetkan personel keamanan yang ditugaskan untuk memberikan jalan aman bagi para biksu ke dan dari kuil.
Hukum perang, yang juga dikenal sebagai hukum humaniter internasional, melarang serangan terhadap warga sipil dan objek sipil, termasuk rumah ibadah, atau serangan yang tidak membeda-bedakan antara kombatan dan warga sipil.
Hukum perang tidak memberikan pembenaran terhadap klaim pemberontak bahwa serangan terhadap warga sipil adalah sah karena mereka yang menjadi sasaran adalah bagian dari negara Budha Thailand atau bahwa hukum Islam, sebagaimana mereka tafsirkan, mengizinkan serangan semacam itu.
Hukum perang juga secara tegas melarang taktik yang sering digunakan oleh pemberontak BRN, termasuk pembalasan dan eksekusi terhadap warga sipil dan kombatan yang ditangkap, mutilasi atau penganiayaan lainnya terhadap orang mati, dan serangan yang menargetkan fasilitas sipil.
Human Rights Watch telah berulang kali mengutuk pelanggaran yang dilakukan para pemberontak.
Meskipun telah terjadi dialog damai antara pemerintah Thailand dan kelompok separatis di bawah payung Majlis Syura Patani (Mara Patani), pemberontak BRN tetap melanjutkan serangan terhadap sasaran sipil.
“Baik Muslim maupun Budha di Thailand selatan terjebak dalam siklus pelecehan dan pembalasan yang dilakukan pemberontak dan pasukan keamanan Thailand,” kata Adams.
“Pemerintah Thailand harus mengadili kekejaman yang dilakukan oleh pasukannya sendiri dan juga yang dilakukan oleh pemberontak jika kekerasan yang mengerikan ini ingin dihentikan.”