Seruan semakin meningkat agar ekspor pasir laut dari Indonesia ditinggalkan

5 Juni 2023

JAKARTA – Para pemerhati lingkungan menyerukan kepada pemerintah untuk mencabut peraturan baru-baru ini yang mengizinkan ekspor pasir laut setelah larangan selama 20 tahun, yang kini digandakan oleh pemerintah dengan mengklaim bahwa mereka memprioritaskan permintaan daur ulang dalam negeri dibandingkan ekspor.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani peraturan pada tanggal 15 Mei yang mengizinkan pemegang izin untuk mengumpulkan sedimen, termasuk pasir laut, dan menggunakannya untuk reklamasi lahan, pembangunan infrastruktur swasta dan negara, dan bahkan mengekspornya asalkan kebutuhan dalam negeri terpenuhi.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memperingatkan bahwa peraturan tersebut akan mengancam penghidupan nelayan dan masyarakat pesisir, dan Walhi menolak untuk menjadi bagian dari penerapan peraturan tersebut.

“Saya dan 28 Pengurus Daerah Walhi mendesak Presiden RI untuk menyetujui Peraturan Pemerintah No. 26/2023 dan menghentikan secara permanen seluruh proyek penambangan pasir laut serta seluruh proyek reklamasi di Indonesia,” Parid, Manajer Kampanye Walhi Bidang Pesisir dan Kelautan. kata Ridwanuddin dalam diskusi online yang diselenggarakan Greenpeace Indonesia, Kamis.

Ia juga memperingatkan bahwa peraturan tersebut akan memperburuk krisis iklim dengan mempercepat hilangnya pulau-pulau kecil, yang dalam jangka panjang dapat membuat lebih dari 23 juta orang di komunitas pesisir mengungsi pada tahun 2050 dan menjadi pengungsi iklim.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan pada hari Rabu bahwa peraturan tersebut terutama dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pasir laut dalam negeri untuk proyek reklamasi.

“Permintaan dalam negeri (pasir laut) untuk didaur ulang sangat besar. Kalau tidak diatur dengan baik, pulau-pulau kecil bisa ditambang untuk proyek reklamasi atau dasar laut ditambang, yang akan menyebabkan kerusakan lingkungan lebih lanjut,” kata Sakti dalam konferensi pers di Kementerian di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan, pasir laut yang digunakan dalam proyek reklamasi menurut aturan tersebut merupakan pasir sedimen yang melimpah di Indonesia karena adanya arus laut dan fenomena oseanografi di dalam negeri.

Ia mengatakan, menurut perkiraan ada sekitar 23 miliar meter kubik sedimen yang dapat ditambang setiap tahunnya.

Ia menambahkan, tim peneliti yang terdiri dari pejabat Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, perguruan tinggi dan pusat penelitian serta organisasi masyarakat sipil seperti Walhi atau Greenpeace, akan menentukan apakah sedimen dapat ditambang.

Menanggapi hal tersebut, Greenpeace Indonesia menolak terlibat dalam penerapan peraturan tersebut dengan menjadi bagian dari tim peneliti sedimen, dan mendesak pemerintah untuk mencabut peraturan kontroversial tersebut karena dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar.

Afdillah, aktivis Greenpeace Indonesia, mengatakan peraturan tersebut merupakan upaya “greenwashing” yang dilakukan pemerintah.

“Tidak ada alasan ekologis dalam peraturan yang membuat ekstraksi sedimen menjadi mendesak. Tidak ada data yang valid, tidak ada urgensinya,” kata Afdillah dalam diskusi yang diselenggarakan Greenpeace Indonesia, Kamis.

Ia juga mengatakan aturan tersebut hanya akan memuluskan jalan bagi oligarki dan dunia usaha untuk mendapatkan keuntungan dari ekspor pasir laut.

Koordinator nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan juga mengkritik peraturan tersebut, dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak memberikan data ilmiah yang tepat untuk membenarkan eksploitasi tersebut.

Kementerian Kelautan dan Perikanan secara sembarangan menyebut terdapat 23 hingga 24 miliar meter kubik potensi sedimen di laut, padahal belum ada survei, penelitian, atau laporan ilmiah yang menjelaskan hal tersebut, kata Suhufan dalam keterangannya, Jumat.

Ia juga memperingatkan bahwa penambangan sedimen akan menyebabkan erosi pantai lebih lanjut, karena penelitian menemukan bahwa Indonesia menghadapi kenaikan permukaan laut sekitar 0,3 hingga 0,7 sentimeter per tahun akibat perubahan iklim, sementara sebagian Kalimantan, Kepulauan Riau, dan pantai utara Jawa di bawah tadi. ancaman erosi pantai dengan kecepatan 1 hingga 10 meter per tahun.

“DFW Indonesia mendesak Presiden Jokowi untuk mundur dan mencabut peraturan tersebut,” kata Abdi.

Persatuan Nelayan Indonesia (HNSI) Kepulauan Riau memperingatkan bahwa membiarkan ekspor pasir laut akan mengganggu penghidupan para nelayan yang harus berhadapan dengan kapal keruk besar yang menambang pasir laut.

“Kapal pengerukan pasir berukuran besar itu pasti akan mengganggu bioma laut dan wilayah penangkapan ikan para nelayan,” kata Wakil Ketua HNSI Kepulauan Riau Eko Fitriandi kepada The Jakarta Post pada hari Selasa.

agen sbobet

By gacor88