8 April 2022
JAKARTA – Persatuan Sepak Bola Amputasi Indonesia menjadi runner-up dalam pertandingan debutnya di kualifikasi Asia Timur, meskipun mengalami kekurangan dana. Kini tim tersebut siap untuk berangkat ke Piala Dunia Sepak Bola Diamputasi 2022 di Turki – semoga mendapat dukungan dari pemerintah, para donatur, dan pendukung yang dermawan.
Sepak bola telah menjadi bagian penting dalam kehidupan Aditya sejak ia masih kecil. Dia bercita-cita suatu hari nanti menjadi sebaik superstar Argentina Lionel Messi.
Ditambah dengan keinginannya untuk bermain secara reguler, mimpinya mendorongnya untuk mendaftar di Akademi Sepak Bola Saint Prima Bandung pada tahun 2012.
“Saya termotivasi (mendaftar di Saint Prima) karena ketika saya masih SMA, saya melihat teman-teman saya mengikuti turnamen dengan klub-klub di Bandung,” ujarnya, 23 Maret.
Pada tahun 2014, Aditya mengikuti pemusatan latihan U-17 (U-17) yang diselenggarakan oleh Klub Sepak Bola Persib Bandung.
Setahun kemudian, ketika FIFA menskors Indonesia dari kompetisi internasional dan kompetisi liga nasional terhenti, Aditya memutuskan untuk belajar di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung (UIN Bandung). Namun ia tidak bisa berhenti bermain sepak bola, sehingga ia mengikuti berbagai turnamen universitas.
Tragedi terjadi pada tahun 2017 saat ia mengalami patah kaki kanan usai bertabrakan dengan kiper lawan saat laga persahabatan. Dia tidak dapat menerima perawatan segera atas cederanya, yang akhirnya menyebabkan kaki kanannya patah.
“Tahun 2018 akhirnya saya berobat ke RS Hasan Sadikin. Tahun itu saya belum siap untuk diamputasi kaki saya. Setelah satu tahun di rumah, akhirnya saya memutuskan untuk mengamputasi kaki saya pada tahun 2019,” kenang Aditya.
Aditya, kini 24 tahun, adalah kapten dan gelandang Asosiasi Sepak Bola Orang Diamputasi Indonesia (INAF). Pada pertengahan Maret, tim ini menempati posisi kedua di kualifikasi Asia Timur di Bangladesh, India, dan mendapatkan tempat di Piala Dunia Sepak Bola Amputee 2022 pada bulan Oktober di Turki.
Muhammad “Luki” Lukiyono adalah pemain lain yang membantu tim mengamankan tempat di Piala Dunia. Luki terinspirasi bermain sepak bola dari ayah dan saudara laki-lakinya yang pernah mengikuti tarkam atau turnamen sepak bola antar desa di Jember, Jawa Timur.
Luki terlahir tanpa kaki kiri, namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk bermain sepak bola dengan orang yang memiliki dua kaki.
“Sebelum saya belajar sepak bola amputasi, saya bermain sepak bola dengan melompat dengan satu kaki, namun tidak menggunakan kruk. Saya kesulitan menggiring bola dan berlari melewati lawan,” ujar penyerang berusia 25 tahun itu.
Awal yang baru
INAF didirikan pada Maret 2018 untuk menampung orang-orang yang diamputasi yang memiliki hobi bermain sepak bola. Salah satu pendiri dan wakil ketua Junaidi Abdillah mengatakan ide mendirikan asosiasi ini lahir tiga tahun sebelumnya.
“Rencananya kami akan membentuk asosiasi ini sejak 2015. Saya mencari informasi tentang tim sepak bola yang diamputasi, ternyata tidak ada (di Indonesia),” kata kiper berusia 32 tahun yang kehilangan lengan kanannya itu. amputasi karena perawatan yang tidak memadai setelah patah tulang akibat terjatuh.
“Saya bergabung dengan berbagai kelompok penyandang disabilitas di media sosial dan mengajak mereka untuk bergabung dengan kami,” tambahnya.
Tiga bulan setelah berdirinya, INAF diundang untuk mengikuti turnamen persahabatan di Malaysia. Namun tim tersebut hanya bisa memainkan satu pertandingan karena saat itu tidak terdaftar di World Amputee Football Federation (WAFF).
“Kami resmi mulai mengikuti Kualifikasi Piala Dunia 2022 karena kami baru menjadi anggota tetap WAFF pada tahun 2020,” kata Junaidi. Dijelaskannya, untuk menjadi anggota tetap WAFF, tim sepak bola yang diamputasi memerlukan pengakuan dari federasi sepak bola nasional dan harus terdaftar sebagai badan hukum.
Perjalanan Aditya menjadi pesepakbola yang diamputasi tidak selalu mulus. Sebelum dia memutuskan untuk terus mengejar mimpinya, dia perlu waktu untuk berpikir.
“Saya pertama kali mencari informasi olahraga lain seperti para-renang dan voli duduk. Tapi saya merasa olahraga tersebut tidak cocok untuk saya,” ujar Aditya yang tergabung dalam skuad INAF pada 2019.
“Saya menjadi tertarik (dengan sepak bola yang diamputasi) karena itu membuktikan bahwa bermain (sepak bola) dengan kruk bisa dilakukan,” ujarnya. Setelah menemukan banyak informasi tentang sepak bola diamputasi di Indonesia, ia memutuskan untuk menghubungi INAF dan mendaftar untuk kamp pelatihannya.
Sebelum latihan pertamanya, dia mencoba bermain dengan kruk di halaman rumahnya dan di lapangan sepak bola di lingkungan sekitar, dan ternyata tidak ada gunanya berjalan-jalan di taman.
Sedangkan Luki bermain bersama tim Persatuan Sepakbola Jember Amputasi (Persaid) sejak 2019.
“Seorang teman mengajak saya mencoba bermain kruk. Awalnya saya bingung karena saya belum pernah melakukan ini sebelumnya. Awal-awal saya sering terjatuh,” kata Luki yang masuk skuad INAF untuk kualifikasi Piala Dunia melalui proses seleksi.
Tantangan pelatihan
Sebelum kualifikasi Piala Dunia, tim INAF berencana bermain di Asian Amputee Football Championship 2020, namun dibatalkan karena COVID-19. Mengingat kurangnya turnamen internasional, tim harus memanfaatkan setiap pertandingan yang mereka mainkan melawan klub lokal sebelum berangkat ke Bangladesh.
Kurangnya turnamen internasional bukan satu-satunya tantangannya karena tim juga menghadapi kekurangan dana. INAF adalah organisasi informal yang dijalankan oleh relawan, sehingga manajer, pelatih, dan pemainnya harus memikul tanggung jawab mereka terhadap tim dan karier profesional atau akademis mereka.
“Kami tidak berharap banyak kepada pemerintah. Kami mencoba menggalang dana melalui (website crowdfunding) Kitabisa.com tetapi tidak mencapai target. Kami juga menulis surat meminta dukungan finansial (ke berbagai lembaga),” kata Junaidi.
Selama latihan Piala Dunia di Jakarta, para pemain menginap di rumah Rusharmanto Sutomo, Sekretaris Jenderal INAF, dan menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju tempat latihan.
“Dalam dua minggu pertama, kami mengendarai sepeda motor untuk sampai ke lapangan sepak bola. Alhamdulillah akhirnya kami mendapat bantuan bus di minggu terakhir pelatihan,” kata Aditya.
Meskipun beberapa institusi menyediakan ruang bagi para pemain untuk berlatih, tim berlatih di lapangan yang berbeda setiap minggunya.
Faktor lainnya adalah cuaca, akibat musim hujan yang berkepanjangan pada tahun ini.
“Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta memfasilitasi latihan kami di Lapangan Srengseng. Saat pertama kali sampai di sana, kami tidak bisa menggunakannya karena masih basah karena hujan. Akhirnya kami pulang,” kata Junaidi.
Untungnya, sebelum tim berangkat ke Bangladesh, beberapa orang menyumbangkan uang untuk membiayai akomodasi dan tiket pesawat mereka. Sebuah merek pakaian olahraga juga menyumbangkan kaos dan celana pendek.
Junaidi mengatakan tim melakukan kampanye untuk meyakinkan calon donor bahwa mereka lolos ke Piala Dunia. Saya melihat para pemain memiliki rasa percaya diri yang tinggi, bersemangat dan ingin membuktikan mampu, ujarnya.
Dan mereka membuktikan diri benar: INAF finis sebagai runner-up di pertandingan terakhirnya melawan Jepang pada 14 Maret dengan skor 0-2, kekalahan pertama dan satu-satunya tim selama kualifikasi Asia Timur.
Angkat ke depan
Dengan kembalinya tim ke Indonesia dengan penuh kemenangan, mereka diberikan kesempatan yang tampaknya memberi harapan bagi leg terakhir perjalanan INAF menuju Piala Dunia.
“Setelah kami tiba di Indonesia, kami diterima oleh Menteri Pemuda dan Olahraga. Kami memberi tahu dia tentang hal-hal yang perlu dipersiapkan. Yang pasti kami telah mengangkat isu kebutuhan pemain kami dan kebutuhan fasilitas latihan,” kata Junaidi.
Sementara itu, sepak bola yang diamputasi menjadi lebih menonjol di seluruh negeri seiring dengan bermunculannya pemain-pemain baru di wilayah tersebut.
“Di Malang (Jawa Timur) misalnya, sudah ada klub sepak bola yang diamputasi. Kami juga sedang mempertimbangkan apakah kami bisa merekrut pemain baru untuk bergabung dengan tim nasional,” kata Junaidi seraya menambahkan bahwa pemain baru berarti persaingan positif antar rekan satu tim.
Dia menambahkan bahwa INAF telah mengincar finis di 10 besar Piala Dunia 2022 dan ini adalah tujuan yang realistis karena tim tersebut relatif baru dan belum berpengalaman.
“Jepang punya pengalaman bermain di Piala Dunia. Sedangkan kami baru lolos ke turnamen,” kata Aditya.
Mengejar karir sebagai pesepakbola yang diamputasi tidak menjanjikan imbalan finansial apa pun, namun olahraga ini telah sepenuhnya mengubah kehidupan para pemainnya, memberikan mereka saluran untuk mengatasi tantangan hidup.
“Hidup saya lebih baik karena bertemu dengan teman-teman yang mengalami perjuangan serupa, dan kami bisa berjuang (bersaing) bersama,” kata Luki.
“Melalui sepak bola yang diamputasi, mereka yang bermimpi menjadi pemain (profesional) tetapi (bertemu dengan tragedi) bisa bermain dan tertawa lagi. Itu menyalurkan passion mereka,” kata Aditya.