5 Mei 2023

JAKARTA – Partai politik menggunakan strategi baru untuk mendapatkan pendukung dan pemilih baru pada setiap musim pemilu. Salah satu caranya adalah dengan mempromosikan kandidatnya melalui kaos sederhana sebagai media periklanan portabel. Kaos ini menggambarkan wajah kandidat, janji kampanye dan nomor pemilu.

Fenomena tersebut bukanlah hal baru. Pada tahun 1980-an, perancang busana asal Inggris Katharine Hamnett mengukuhkan dirinya sebagai tokoh utama kaos politik.

Hamnett bertemu Margaret Thatcher pada tahun 1984 dan membantu mantan perdana menteri mempromosikan pernyataan anti-nuklirnya, “58% tidak menginginkan Pershing”, dengan mencetaknya di kaus oblong.

Perancangnya berkata pada saat itu: “T-shirt yang sukses harus membuat Anda berpikir, tetapi kemudian Anda harus bertindak.”

Saat Indonesia bersiap menyambut musim pemilu 2024, The Jakarta Post berbincang dengan beberapa percetakan dan desainer kaus untuk melihat bagaimana pemilu berlangsung dan dapat mempengaruhi bisnis mereka.

Konsep desain

Afzainizam Nur Fahmi, warga asli Banyuwangi, adalah mahasiswi berusia 22 tahun yang sedang menempuh semester delapan program studi desain komunikasi visual di Malang. Dia telah menghabiskan dua tahun terakhir merancang merchandise politik dengan estetika “streetwear” agar lebih terhubung dengan pemilih muda dan lebih sadar mode.

Desainnya mendapat perhatian luas secara online, bahkan menjadi viral di TikTok. Desain terbarunya telah ditonton 400.000 kali dan disukai 40.000, pertanda baik di era media sosial.

Fahmi menambahkan, pihaknya ingin mengubah persepsi bahwa kaos partai politik memiliki desain yang tidak tepat, berkualitas rendah, atau tidak ada gunanya setelah pemilu.

Ia menjelaskan bahwa motivasi utamanya di balik kaos yang ia ciptakan adalah untuk “sedikit mengubah pola pikir” generasi muda. Tahun ini, ia sudah membuat kaos untuk delapan partai politik.

Fahmi juga mengatakan bahwa ia mencoba memberi jarak antara mendesain kaos dan terlibat dalam sisi buruk politik. “Saya tahu ada banyak berita tentang mereka, jadi saya mencoba melihat sisi baiknya dan memasukkannya ke dalam desain saya,” katanya.

Namun, pada awalnya ia enggan memposting konten politik di media sosial karena bisa saja disalahartikan oleh pengguna dan menimbulkan masalah baginya.

“Bagi saya, ini selalu tentang desain. Melihat ke belakang beberapa tahun terakhir, streetwear menarik banyak sekali penonton di Indonesia, dan saya ingin desain saya tetap dapat dikenakan bahkan setelah pemilu selesai.”

Sementara Fahmi mendekati kaos politik dengan konsep streetwear, Prama Tirta Leksana (39) dan istrinya Windi Yani (40) sudah menggeluti bisnis konveksi selama satu dekade terakhir.

Pasangan ini mencatat bahwa semakin banyak partai politik yang mendekati merchandise pemilu mereka dengan bantuan model 3D yang sepenuhnya dicetak dan menggunakan slogan-slogan yang mungkin menarik bagi masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat. Workshop mereka saat ini memiliki kaos bertuliskan nama berbagai partai politik, antara lain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, dan Partai Demokrat.

Daya Tarik Kaum Muda: Seorang model mengenakan T-shirt rancangan mahasiswa desain komunikasi visual Afzainizam Nur Fahmi, yang menerapkan konsep streetwear pada merchandise politik. (Atas izin Afzainizam Nur Fahmi) (Arsip/Atas izin Afzainizam Nur Fahmi)

“Dari kami, satukan hati dan pikiran, bekerja sama dengan rakyat” adalah semboyan salah satu parpol yang dirahasiakan identitasnya oleh Prama. Pasangan ini juga sepakat bahwa dalam beberapa tahun terakhir berbagai partai politik telah menggunakan bahasa yang lebih masuk akal bagi masyarakat umum.

“Saya perhatikan slogan-slogan mereka kini lebih (dipahami) masyarakat,” kata Windi. “Namun, itu tergantung. Slogan kaosnya bisa dari mereka (partai), tapi kadang bisa dari kita (pengusaha konveksi).”

Evolusi barang

Dominique Nicky Fahrizal, peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, mengatakan merchandise politik sudah populer sejak pemilu pertama pada tahun 1955.

Pada tahun 1955, saat terjadi fenomena penggabungan berbagai partai, kata Dominique, dagangan partai politik yang berbeda terlihat jelas.

Namun secara historis warna masing-masing partai politik menjadi aspek yang paling menonjol dalam dagangannya, seperti merah untuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI), cikal bakal PDI Perjuangan yang mewarisi warna tersebut, kuning untuk Golkar dan hijau untuk Amerika. Partai Pembangunan (PPP). Ia menambahkan, identitas politik semakin kokoh sejak tahun 1998.

“Barang dagangannya mengalami perubahan dari tahun ke tahun, di mana beberapa desain menjadi lebih mencolok untuk mengingatkan masyarakat akan berbagai partai politik,” ujarnya menjelaskan evolusi barang dagangan politik di Indonesia.

Dominique mengatakan, slogan mereka pun berubah seiring berjalannya waktu. Hari Kemerdekaan adalah masa ketika slogan-slogan politik bisa menjadi sangat revolusioner, sedangkan slogan-slogan Orde Baru biasanya lebih halus.

“Pada era setelah reformasi (gerakan reformasi), slogan-slogan partai politik mempunyai leksikon dan penyampaian yang lebih hidup. Ini menyebalkan, tapi juga berkesan dan menarik,” katanya.

Artikel yang dimuat di majalah sejarah online Historia pada tahun 2019 juga menyebutkan bahwa masyarakat lebih menyukai slogan yang praktis dan mudah diingat.

Dominique juga mengatakan bahwa meskipun barang dagangan politik telah berkembang, sensasi memiliki barang-barang tersebut tidak pernah hilang.

“Jumlah pemilih sangat tinggi dalam pemilu pada masa Orde Baru. Setelah Orde Baru muncul (dengan) pemilu tahun 1999, (barang kampanye) dengan cepat menjadi bagian integral dari setiap keberhasilan kampanye,” katanya, karena orang-orang yang memiliki pandangan politik yang sama “merasa seolah-olah mereka adalah satu kesatuan”.

“Di Indonesia, seragam (perusahaan) pun erat kaitannya dengan aktivitas politik.”

Dominique juga berpendapat bahwa memproduksi berbagai merchandise merupakan cara inovatif bagi partai politik untuk memulai kampanyenya.

“Kampanye yang kreatif bisa berupa merchandise. Kalau tidak, politik uang akan mengambil alih. Oleh karena itu, pendistribusian barang (rumah tangga) dan sembako yang disebut sembako dilakukan secara bersamaan,” imbuhnya.

Untuk menarik pemilih muda

Dominique mengatakan kaos politik berkaitan dengan permasalahan sosial ekonomi di Indonesia.

“Dari apa yang saya lihat, orang-orang dari latar belakang sosio-ekonomi rendah lebih cenderung percaya bahwa mereka adalah satu kelompok yang bersatu dan mempunyai identitas bersama. Hal ini memperkuat ikatan mereka dengan pemilih, kandidat, dan partai lain.”

Ia juga mencatat bahwa masyarakat dari semua latar belakang sosio-ekonomi dapat berbagi kegembiraan dalam membeli dan memakai barang-barang politik, bahkan barang-barang berkualitas lebih tinggi yang diproduksi oleh partai-partai yang telah menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli barang-barang tersebut.

Namun, barang politik terkadang berkorelasi dengan opini konsumen.

“Saat ini, pengaruh generasi muda dalam kampanye politik semakin meningkat. Politisi juga mengalami masa yang sulit untuk memenangkan hati pemilih,” kata Dominique, yang mengamati hal ini pada tahun 2019 sebagai duta relawan kampanye Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Dominique menambahkan, perebutan suara pada pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahkan lebih sulit dibandingkan pemilu dewan legislatif provinsi, daerah, dan kota (DPRD).

“Calon yang mengajukan program terkait tata ruang suatu ruang publik atau isu-isu yang berdampak pada generasi muda akan berpeluang lebih besar untuk meraih suara,” ujarnya.

Peneliti CSIS Arya Fernandes, Edbert Gani Suryahudaya, dan Noory Okthariza memperkirakan generasi milenial dan generasi Z akan menguasai 60 persen populasi pemilih pada pemilu presiden 2024.

Berdasarkan data, pemilu tahun 2024 di Indonesia akan membuka era baru yang ditandai dengan partisipasi aktif pemilih muda yang fleksibel dan sadar akan isu-isu lokal dan internasional, seperti kesehatan masyarakat, lingkungan hidup, ketenagakerjaan, demokrasi, dan pemberantasan korupsi) dan didorong untuk menghidupkan kembali negara setelah pandemi COVID-19.

Selain itu, telah terjadi perubahan dramatis sejak dua pemilu terakhir mengenai cara pandang pemilih muda terhadap kepemimpinan nasional. Pemilih di bawah 35 tahun pada pemilu 2024 akan mencari pemimpin yang bersih, anti korupsi, inovatif, dan siap menghadapi krisis.

Terlebih lagi, partai politik masih membutuhkan bantuan untuk berhubungan dengan generasi muda, seperti yang diberitakan The Jakarta Post sebelumnya.

Menurut survei CSIS, meskipun 63,8 persen pemilih muda berusia antara 17 dan 39 tahun menyukai demokrasi, terdapat tanda-tanda frustrasi yang semakin besar terhadap sistem politik saat ini. Responden yang meyakini demokrasi tidak membawa perbedaan mencapai lebih dari 18 persen, naik dari 10 persen pada tahun 2018. Kepercayaan terhadap lembaga demokrasi relatif rendah, dengan hanya 56,5 persen responden yang mengatakan mereka mempercayai DPR, lembaga terlemah dari 11 lembaga yang disurvei.

Masih harus dilihat apakah penjual barang-barang trendi akan terhubung dengan mereka.

Dominique mengatakan spanduk atau kaos politik adalah salah satu cara untuk terhubung dengan generasi muda Indonesia, namun itu bukanlah segalanya. Saat berbicara dengan para pemilih muda, ia mengetahui bahwa mereka lebih menyukai interaksi langsung dengan para kandidat, baik secara langsung maupun online.

‘Dapatkan 50% di Muka’

Kaos politik adalah bisnis yang bagus. Tahun ini, Prama dan Windi membuat lebih dari satu juta kaos untuk 11 partai politik yang memesan dari usahanya.

Windi mengatakan, pada musim kampanye, pelanggan cenderung lebih memilih kaos dibandingkan barang lain seperti bendera, mug, dan pin dengan pesanan sekitar 70 persen kaos dan 20 persen bendera. Ia yakin hal ini terjadi karena kaus oblong praktis karena memberikan informasi yang dibutuhkan pemilih, termasuk wajah kandidat, partai politiknya, dan nomor pemilunya.

Namun memproduksi kaos politik merupakan bisnis yang mudah dan hanya menguntungkan sesekali saja. Pelanggan kuat yang memiliki uang untuk dibelanjakan sering kali berakhir dalam proses yang menantang untuk mendapatkan pembayaran setelahnya.

Akun Twitter Guardian Of Bekasi (@rgoestama) yang fokus pada hal-hal terkait desain, men-tweet pada 17 Agustus 2022 dalam bahasa Indonesia: “Tahun ini adalah awal tahun politik. Saya hanya ingin menyampaikan pesan ini untuk perusahaan kaos (percetakan).

“Jangan menerima perintah kampanye (politik) tanpa uang muka 100 persen. Minimal 50 persen di muka, dan 50 persen lainnya sebelum pengiriman.

“Ingat rumus ini jika tidak ingin menangis bersama calon pemberi perintah.”

Lumbangaol, yang memiliki usaha percetakan kaos, menderita kerugian sedikitnya Rp 2,4 miliar (US$162.400) pada tahun 2009 karena banyak partai politik yang tidak membayar kaos kampanyenya.

Menurut Lumbangaol, hanya 30 persen dari 38 pelanggan yang mengikuti pemilu tahun itu membayar kaos yang diproduksinya untuk memenuhi pesanan mereka.

Windi mengungkapkan, dirinya juga punya strategi khusus agar tidak dimanfaatkan atau dibiarkan tidak dibayar: Ia meminta seluruh pelanggan membayar 50 persen dari total biaya pesanannya sebelum dikirim.

“Yah, meskipun pelanggan saya selalu membayar barang yang mereka pesan, mereka tidak pernah mencoba mengalahkan kami dengan menawarkan keuntungan yang besar,” ujarnya.

“Masyarakat harus lebih berhati-hati saat pertama kali membuat perjanjian. Kalau ada yang menawarkan untuk mengambil (barangnya) sebelum pembayaran, itu benar-benar kesalahan pemilik usaha,” tambah Prama.


Pengeluaran SDY

By gacor88