28 April 2022

JAKARTA – Indonesia nampaknya menjalani stress test besar pertama dalam kepemimpinannya di Kelompok 20 dengan sangat menahan diri, setelah para pejabat dari Amerika Serikat dan sekutunya keluar dari pertemuan penting forum ekonomi tersebut pada tanggal 20 April.

Tidak terpengaruh oleh protes terhadap invasi Rusia ke Ukraina di Washington, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dia yakin serangan tersebut “tidak akan mengikis kerja sama atau pentingnya forum G20”.

Sebagai ketua pertemuan, ia mengakui bahwa perang Rusia-Ukraina telah menghasilkan situasi “luar biasa” yang mendesak negara-negara untuk mendukung “penyesuaian agenda yang ada untuk memungkinkan G20 mengatasi dampak ekonomi dari perang tersebut”. Yang terpenting, beliau juga mendapatkan komitmen kolektif untuk mengatasi tantangan lain yang ada.

Namun, pernyataan besarnya mengenai multilateralisme berisiko menjadi slogan kosong jika Jakarta tidak dapat dengan cepat memitigasi dampak kebijakan “nasionalis”, seperti larangan ekspor minyak sawit yang diumumkan baru-baru ini.

Sejak pecahnya perang di Ukraina pada tanggal 24 Februari, Indonesia telah berupaya memastikan bahwa program G20 tidak akan dibajak oleh geopolitik global. Hal ini menggarisbawahi perlunya lebih banyak kerja sama – bukan lebih sedikit – untuk mengatasi hambatan yang memperlambat pertumbuhan dan pemulihan global.

Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam perjalanan shuttle diplomacy ke Inggris, Prancis, dan Turki pekan lalu.

Indonesia sendiri telah berusaha mempertahankan netralitasnya dengan memimpin asosiasi sukarela negara-negara yang masih terpecah mengenai apa yang harus dilakukan terhadap Rusia.

Di satu sisi, Amerika Serikat dan sekutunya di Kelompok Tujuh (G7) berusaha untuk menghukum Moskow dengan cara apa pun yang diperlukan, sehingga menimbulkan ancaman untuk memboikot KTT G20 di Bali pada bulan November. Sekarang mereka bersikeras agar Ukraina diundang ke pertemuan puncak tersebut.

Namun bagi anggota G20 lainnya, kampanye AS mungkin terasa berlebihan dan pada akhirnya mengganggu, mengingat jadwal forum yang sibuk.

Mengenai posisi Rusia di meja G20, seperti namanya, keberadaan forum tersebut bergantung pada fakta bahwa 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia telah memutuskan untuk bersatu mencari solusi global. Tidak ada preseden untuk tidak mengundang anggota atau menambah anggota, dan mencoba mencapai konsensus tentang keduanya adalah hal yang tidak penting. Bagaimanapun, Indonesialah, bukan G7, yang harus memimpin perdebatan dan memimpin dengan kreativitas.

Meski begitu, ujian yang lebih besar masih menanti di bulan-bulan mendatang.

Presiden AS Joe Biden akan berbicara lebih banyak tentang Rusia dalam pertemuannya dengan para pemimpin ASEAN bulan depan, dan Indonesia sebagai penghubung dengan AS dan pemegang kepresidenan G20 akan bergantung pada Indonesia untuk memastikan tidak ada pihak yang terganggu.

Cara Presiden Joko Widodo menangani pertemuan tersebut pasti akan menentukan arah, baik atau buruk, kepemimpinan Indonesia di ASEAN tahun depan.

Jakarta juga mempunyai peluang untuk mengarahkan semua energi negatif mengenai kejenakaan Rusia ke pertemuan para menteri luar negeri G20 pada bulan Juli, yang merupakan tempat yang lebih tepat.

Jika Indonesia berhasil mengatasi hambatan-hambatan ini, serta kontroversi pelarangan minyak sawit, Indonesia akan memiliki modal politik yang lebih besar dibandingkan sebelumnya.

judi bola terpercaya

By gacor88