Konflik dagang, sikap Tiongkok yang lebih tegas, dan isu Laut Cina Selatan akan mendominasi berita utama di seluruh blok tersebut.
Sebagai ketua ASEAN tahun ini, Thailand harus memperkuat kerja sama kawasan di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan Tiongkok yang mengancam lebih dari sekedar konflik perdagangan, kata para pakar hubungan internasional pada forum perdamaian di Bangkok kemarin.
“Ketegangan antara Tiongkok dan AS berbeda dengan ketegangan antara AS dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin,” kata Yan Xuetong, kepala Institut Hubungan Internasional di Universitas Tsinghua. Ia juga menjabat Sekretaris Jenderal Forum Perdamaian Dunia di Beijing.
Yan berbicara di forum bertajuk “Perdamaian yang Tidak Mudah: Tiongkok di Dunia yang Terbagi”, di mana ia membahas perubahan dinamika geopolitik antara Tiongkok dan AS, dan dampaknya bagi Asean.
“Alih-alih berfokus pada pembangunan militer, konflik ideologi, dan ancaman nuklir, persaingan antara negara adidaya Tiongkok dan AS akan terjadi di bidang ekonomi dan teknologi,” kata Yan, menyebut persaingan tersebut sebagai era “perdamaian yang tidak mudah”.
Perselisihan ekonomi antara kedua negara hanyalah salah satu aspek dari konflik dan akan diikuti oleh ketegangan teknologi, tambahnya, merujuk pada penangkapan kepala keuangan Huawei, Meng Wanzhou, di Kanada baru-baru ini.
Berkat kebijakan luar negeri “America First” yang diusung Presiden Donald Trump, peran AS dalam politik internasional semakin berkurang, dengan menarik diri dari kawasan seperti ASEAN. Namun, Tiongkok tidak memiliki kemampuan untuk mengambil alih posisi Amerika Serikat dalam politik internasional, sehingga negara-negara anggota Asean kini mempunyai kemampuan untuk mengambil kendali pemerintahan di kawasan mereka, kata Yan.
Pakar hubungan internasional ini sepakat bahwa ASEAN telah diberikan peluang penting untuk mendorong integrasi yang koheren di kawasan ini selama kekosongan kekuasaan geopolitik.
Yan lebih lanjut menyatakan bahwa meskipun kebijakan luar negeri Trump yang berorientasi ke dalam negeri telah menyebabkan penurunan umum dalam hubungan multilateral di seluruh dunia, kawasan ASEAN merupakan pengecualian. Negosiasi multilateral seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Free Trade Area of Asia-Pacific (FTAAP) dan Lanchang-Mekong Cooperation (LMC) masih menjanjikan, ujarnya.
Peserta lain sepakat bahwa terdapat peluang bagi pertumbuhan kerja sama multilateral ASEAN.
“Oleh karena itu, posisi Thailand sebagai ketua ASEAN sangatlah penting karena akan menggerakkan inisiatif diplomatik dan perdagangan yang diperlukan untuk menghadapi perubahan tatanan dunia,” kata Kavi Chongkittavorn, peneliti senior di Institut Keamanan dan Kajian Internasional. ISIS) Thailand, dan mantan pemimpin redaksi di Myanmar Times.
Salah satu tujuan paling ambisius Thailand sebagai ketuanya adalah menyelesaikan perundingan RCEP yang telah berlangsung selama tujuh tahun.
Jika berhasil, RCEP akan menjadi perjanjian perdagangan multilateral terbesar dalam sejarah, antara 10 negara anggota ASEAN dan Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Tantangan utama bagi Thailand dalam menegosiasikan perjanjian RCEP adalah menyatukan Tiongkok dan India, dua negara adidaya yang memiliki kepentingan yang bertentangan, Kavi menambahkan.
“Penyelesaian RCEP tidak hanya penting bagi perdagangan Thailand, tetapi juga merupakan simbol komitmen Thailand untuk memajukan gagasan ‘sentralitas Asean’,” katanya kemudian dalam sebuah wawancara di sela-sela forum tersebut.
Menurut Departemen Perundingan Perdagangan, perang dagang antara AS dan Tiongkok membuat Thailand dan negara-negara lain di kawasan bertekad menyelesaikan perundingan mega pakta perdagangan tersebut pada akhir tahun ini.
Kavi yakin meski negosiasi berlarut-larut selama tujuh tahun terakhir, RCEP akhirnya akan selesai pada tahun 2019 di bawah tekanan eksternal saat ini.
“Penanganan kami terhadap RCEP akan menunjukkan apakah Asean masih relevan dalam bidang geopolitik sebagai suatu kawasan. Hal ini juga akan meningkatkan citra Thailand di mata internasional dengan mampu mendamaikan kepentingan-kepentingan yang berlawanan dari berbagai negara adidaya dalam satu perjanjian perdagangan besar,” katanya.
Namun, Yan mempunyai pandangan yang lebih serius mengenai negosiasi RCEP.
“Karena besarnya skala perjanjian dan konflik kepentingan dari kekuatan ekonomi yang terlibat, peluang untuk menyelesaikan RCEP pada akhir tahun ini sangat kecil, sama seperti perundingan regional lainnya yang akan dilakukan,” katanya.
“Namun, Thailand harus tetap melakukan dialog mengenai isu-isu seperti RCEP selama masa kepemimpinannya untuk memastikan bahwa kawasan ini tetap menjadi satu kesatuan dan kerja sama di kawasan ini terus mengalami kemajuan.”