15 Maret 2019
Jakarta Post berkolaborasi dengan organisasi media Tirto.id dan VICE Indonesia mengulas kisah para penyintas.
Setelah tekanan masyarakat yang besar dan banyaknya pemberitaan mengenai pelecehan dan kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM), pihak universitas akhirnya membentuk tim khusus untuk merumuskan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Ketua tim, pakar kebijakan publik senior, Muhadjir Darwin, mengatakan bahwa rancangan pertama telah selesai dan sedang diperiksa oleh sejumlah pakar gender dari berbagai universitas. “Kami juga bertemu dengan mahasiswa untuk mematangkan konsepnya,” ujarnya dalam wawancara baru-baru ini untuk kolaborasi #NamaBaikKampus.
Diakuinya, langkah tersebut sudah lama tertunda, namun ketika rancangan tersebut selesai dan diterima sebagai peraturan universitas, dia mengatakan itu akan menjadi yang pertama di Tanah Air.
Memang butuh waktu lama bagi UGM untuk sampai ke titik ini. Namun, universitas lain juga tidak lebih baik.
‘Bukan pelanggaran berat’
Di Semarang, Jawa Tengah, seorang dosen, Kodir (bukan nama sebenarnya), yang dituduh melakukan pelecehan, terus mengajar dan kemudian diduga melecehkan tiga mahasiswa lainnya. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang saat itu hanya “menegur” Kodir, menyusul laporan yang dilakukan dua mahasiswanya pada tahun 2016.
Seorang pejabat di Sekolah Humaniora, yang tidak ingin disebutkan namanya, membenarkan bahwa pada tahun 2016, dua siswa melaporkan bahwa Kodir telah melecehkan mereka. Salah satunya, Dias (bukan nama sebenarnya), mengatakan Kodir meraba-raba dan mencoba menciumnya saat sedang menunggu dekan di kantor program studi. Kepada Tirto.id, pejabat tersebut melaporkan hal tersebut kepada dekan saat itu Redyanto Noor. Katanya, dekan sekadar menegur dosen tersebut.
Dias mengatakan kepada #NamaBaikKampus bahwa kantor dekanat tidak menganggapnya sebagai “pelanggaran berat”. Redyanto enggan berkomentar kapan Tirto.id menghubunginya, dan Kodir juga tidak menanggapi permintaan wawancara Tirto.id.
Belakangan tahun ini, siswa lain, Gia (bukan nama sebenarnya), mengalami pengalaman serupa. Kodir diduga meraba-raba, mencubit pipinya, dan memeluk pinggangnya di ruang kuliah saat tidak ada orang di sekitarnya. Dua korban lainnya menceritakan kisah yang sama, meski mereka menolak memberikan rincian karena takut diidentifikasi. Mereka saat ini masih bersekolah di Undip dan belum mengajukan pengaduan resmi kepada pihak sekolah.
Nurhayati, dekan baru sekolah tersebut, mengatakan kepada Tirto.id, dirinya belum mengetahui tuduhan terhadap Kodir. Dia menyatakan bahwa dia belum menerima laporan apa pun mengenai masalah tersebut dan oleh karena itu tidak dapat berkomentar, namun dia meyakinkan bahwa jika kantor dekan menerima laporan, dia akan melakukan penyelidikan dan mengikuti prosedur yang diperlukan.
Kesempatan lain untuk melecehkan wanita?
Memberikan kesempatan kedua kepada dosen seperti itu mungkin hanya akan membahayakan lebih banyak perempuan, karena Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengalami pengalaman pahit.
Setelah menerima serangkaian laporan dari mahasiswa, Departemen Hubungan Internasional Fisipol mencopot jabatan pengajar ternama, EH, pada tahun 2016, seperti yang dibeberkan oleh Jakarta Postlaporan investigasi pada bulan Juni 2016. Ia tidak diperbolehkan lagi melakukan kontak dekat dengan mahasiswa di departemen tersebut. Namun saat itu EH juga menjadi guru besar konsultan tesis di luar departemen, termasuk di Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan.
Seorang staf di Fisipol yang meminta tidak disebutkan namanya, Rika (bukan nama sebenarnya), mengatakan kepada The Pos bahwa EH diberi “kesempatan kedua” oleh Departemen Ilmu Politik. Alasan yang disebutkan, katanya, bersifat “teknis”, seperti kesulitan mencari pengganti dan perlunya EH memenuhi tenggat waktu dalam proyek akademik atau kelanjutan konsultasi tesis dengan beberapa mahasiswa pascasarjana dan pasca sarjana.
Kesempatan keduanya berakhir ketika laporan baru tentang pelecehan seksual muncul. Seorang anggota staf di departemen tersebut mengajukan pengaduan dengan mengatakan bahwa EH melakukan pelecehan seksual terhadapnya.
Rika mengatakan, sebagian orang yang membela EH selalu memikirkan kesejahteraan EH. “Mereka selalu memikirkan nasib pelakunya. Pernahkah mereka memikirkan kehidupan orang-orang yang selamat?” kata Rika.
Namun dia memuji fakultas tersebut dengan mengatakan pihaknya memproses laporan tersebut sesuai prosedur yang benar.
Dekan Fisipol Erwan Agus Purwanto menolak berkomentar saat itu Posmencoba mewawancarainya pada 5 Maret.
Diberhentikan dengan hormat
Kepala Departemen Hubungan Internasional yang baru, Nur Rachmat Yuliantoro, membenarkan adanya kasus baru, meski ia mengatakan EH membantah melakukan kesalahan. Namun pihak fakultas memutuskan untuk meminta EH mengundurkan diri. Sebulan kemudian, pada 26 November 2018, EH mengajukan pengunduran dirinya, lebih dari dua tahun setelah laporan resmi pertama dari mahasiswa disampaikan dan di puncak kasus pelecehan seksual lainnya di UGM, yang dikenal publik sebagai kasus Agni.
Rachmat harus Pos bahwa fakultas menerima pengunduran diri EH dan “meneruskan” statusnya ke tangan rektorat.
Penghubung Rektorat UGM, Iva Ariani, mengatakan rektorat “memproses” status EH sesuai Peraturan Pemerintah No. 53/2010 tentang Pegawai Negeri Sipil.
“Hukuman paling berat yang mungkin terjadi adalah pemecatan secara tidak sukarela secara terhormat,” katanya melalui pesan singkat, Rabu.
Peraturan tersebut menyatakan bahwa seorang pegawai negeri dapat dikenakan hukuman disiplin atas berbagai jenis pelanggaran, termasuk menghalangi orang untuk menerima layanan.
Hukumannya ada tiga tingkatan, dari ringan sampai berat, dan hukuman terberat yang tercantum dalam Pasal 7 Ayat 4e adalah “pembebasan tanpa hormat”.
Pidana yang paling berat bagi EH ditentukan dalam Pasal 7 ayat 4d.
Namun meski berstatus Fisipol, EH tetap ada. Ia sesekali menggunakan kamarnya di Departemen Hubungan Internasional. Seseorang yang meminta namanya dirahasiakan mengatakan kepada Pos dia bertemu dengan EH di kampus Fisipol pada 25 Februari tahun ini. Rachmat membenarkan, dirinya masih melihat lampu di kamar EH menyala, namun ia mengaku belum pernah bertemu langsung dengannya sejak EH mengajukan pengunduran diri. “Mungkin dia masih menunggu keputusan status staf UGM-nya,” kata Rachmat.
Kementerian enggan melakukan intervensi
Kedua dosen tersebut, Kodir dari Undip dan EH dari UGM, masih aktif menjadi dosen di database Kemenristekdikti.
Dalam wawancara baru-baru ini dengan VICE Indonesia, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ismunandar, menjelaskan bahwa perguruan tinggi di Indonesia adalah entitas yang “otonom” dan kasus pelecehan seksual harus ditangani oleh masing-masing institusi.
“Kami berharap universitas dapat menangani masalah ini sendiri. Tapi kalau mereka membutuhkan kami (untuk membantu) dalam beberapa kasus, kami bisa membantu,” kata Ismunandar. Ia mencontohkan, selama ini Indonesia membiarkan setiap universitas menangani kasus plagiarisme. Namun, kementerian merasa perlu merancang peraturan untuk mengatasi plagiarisme di tingkat nasional, dan saat ini sedang dalam proses merumuskannya. Masih belum ada rencana untuk menyusun peraturan nasional mengenai kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan.