24 Desember 2018
Letusan gunung berapi mungkin menjadi penyebab peristiwa bencana tersebut.
Masih banyak pertanyaan mengenai penyebab tsunami yang melanda pantai di Lampung dan Banten pada Sabtu malam, yang menewaskan sedikitnya 168 orang dan melukai 750 orang.
Minimnya gempa berkekuatan besar atau kuatnya letusan gunung berapi menyebabkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) awalnya mengumumkan bahwa gelombang tersebut bukan merupakan tsunami, melainkan disebabkan oleh air pasang.
“BMKG tidak mencatat adanya gempa yang terjadi malam ini. Yang terjadi di Anyer (Banten) dan sekitarnya bukanlah tsunami, melainkan gelombang pasang. Malam ini juga terjadi bulan purnama sehingga menimbulkan gelombang pasang tinggi. Tenang saja,” kata BMKG di akun Twitter-nya, Sabtu malam, dalam cuitan yang sudah dihapus.
Baru beberapa jam kemudian diketahui bahwa air pasang setinggi tiga meter kemungkinan disebabkan oleh aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang terletak di tengah Selat Sunda yang membelah Sumatera dan Jawa.
Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, membenarkan adanya tsunami, namun tidak ada aktivitas tektonik di kawasan tersebut, dan menduga tsunami tersebut disebabkan oleh letusan gunung berapi.
“Pada pukul 21.03 (Sabtu malam), Krakatau kembali meletus dan merusak seismometer di dekatnya, namun Stasiun Seismik Sertung mencatat getaran terus menerus,” ujarnya dalam keterangannya, Sabtu.
Ia menambahkan, sensor seismik di Cigeulis, Banten juga mencatat aktivitas seismik berlangsung sekitar 24 detik.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan masih mencari kaitan antara letusan Anak Krakatau dengan tsunami. Dikatakan gunung berapi tersebut telah aktif sejak Juni dan letusan yang lebih kuat dari gunung tersebut tidak mengakibatkan tsunami.
“Untuk menimbulkan tsunami sebesar ini, harus ada tanah longsor besar yang jatuh ke laut (…) dan itu memerlukan energi dalam jumlah besar, yang tidak terdeteksi oleh seismograf di observatorium vulkanik,” kata pusat tersebut dalam sebuah pernyataan. penyataan. Jumpa pers.
Stasiun pemantau gunung berapi di Pasauran, Pantai Anyer, yang terletak sekitar 40 kilometer dari Anak Krakatau, mencatat letusan lahar ke arah selatan gunung pada Sabtu malam, namun letusan tersebut dinilai terlalu kecil untuk menimbulkan tsunami.
Pakar tsunami Ahmad Muhari mengatakan ada dua kemungkinan penyebab tsunami: tanah longsor akibat letusan Anak Krakatau atau perubahan kondisi cuaca secara tiba-tiba, namun menambahkan bahwa kedua teori tersebut memiliki keterbatasan.
“Saat ini masih menjadi perdebatan buta karena informasi yang kita miliki terbatas, hanya data tide gauge dari empat stasiun,” ujarnya. Jakarta Post pada hari Minggu.
“Jika tsunami disebabkan oleh tanah longsor akibat letusan, kita perkirakan keempat stasiun akan mencatat gelombang tersebut pada waktu yang hampir bersamaan, namun alat pengukur pasang surut di Pelabuhan Panjang di Lampung mencatatnya jauh lebih lambat dibandingkan stasiun lainnya,” ujarnya. , menambahkan bahwa tiga pulau di sekitar Anak Krakatau seharusnya dapat memblokir gelombang letusan.
Faktor meteorologi juga bisa menjadi penyebab terjadinya tsunami, kata Ahmad, namun data BMKG tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan tekanan udara secara tiba-tiba yang diperlukan untuk menyebabkan terjadinya “meteo-tsunami” tersebut.
“Tetapi data menunjukkan bahwa ada kecepatan angin yang sangat tinggi dan hal ini dapat dikombinasikan dengan tanah longsor yang memperburuk ukuran tsunami,” katanya.
Sutopo Purwo Nugroho, Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), melalui akun Twitter-nya @Sutopo_PN mengatakan badan tersebut telah mencatat sedikitnya 168 orang tewas dan 750 orang terluka pada Minggu pukul 1 siang, sementara 35 orang masih hilang. Ratusan rumah dan bangunan lainnya hancur.
Sukmandaru, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), mengatakan berdasarkan data yang ada saat ini, menurutnya tanah longsor di bawah air adalah penjelasan terbaik terjadinya tsunami.
Letusan Anak Krakatau kemungkinan menimbulkan getaran yang mengakibatkan tanah longsor di lereng bawah air yang kemudian menimbulkan tsunami, ujarnya. Pos pada hari Minggu.
Ia mengatakan, meski aktivitas gunung berapi tersebut belum menunjukkan peningkatan intensitas yang signifikan dalam beberapa hari terakhir, namun gempa yang berulang kali terjadi kemungkinan telah melemahkan salah satu lereng bawah air dan akhirnya menyebabkan tanah longsor.
“Masih interpretasi, perlu informasi lebih lanjut untuk memastikan penyebab sebenarnya,” ujarnya.