14 Januari 2022

JAKARTA – Narapidana terorisme reformis menyebarkan pengetahuan dan kisah pribadi mereka untuk membantu program deradikalisasi.

Hal ini tidak pernah mudah, namun beberapa tahanan terorisme yang direhabilitasi telah berusaha semaksimal mungkin untuk berbagi pengalaman dan perspektif mereka dengan orang-orang yang rentan terhadap ekstremisme sehingga mereka dapat menghindari kesalahan serupa.

Kaum radikal yang direformasi berbicara kepada semua orang, mulai dari pengikut ulama ekstremis hingga tahanan terorisme yang masih percaya pada perjuangan mereka dan menunggu untuk melancarkan serangan lain.

Reintegrasi sosial: Arif Budi Setyawan (kiri) berbincang dengan salah satu anak didiknya, Wildan (kanan), pada acara pengabdian masyarakat di Singosari, Malang, pada Desember 2019, sebagai bagian dari program reintegrasi sosial bagi mantan narapidana. (Atas izin Kreasi Prasasti Perdamaian/Proyek Penjangkauan) (Atas izin Kreasi Prasasti Perdamaian)

Saifuddin Umar atau yang akrab disapa Abu Fida mengetahui hal ini secara langsung. Keterlibatannya dengan kelompok teroris regional Jemaah Islamiyah (JI) membawanya untuk menangkap buronan teroris Malaysia Dr. Azhari dan Noordin M. Top menjadi pembawa acara. Detasemen Khusus (Densus) 88, sebuah kelompok anti-terorisme polisi, menangkapnya pada tahun 2004, meskipun ia segera dibebaskan. Sepuluh tahun kemudian dia ditangkap lagi dan dibawa ke pengadilan karena kegiatan kriminalnya sebelumnya. Dia menghabiskan tiga tahun penjara dan dibebaskan pada tahun 2017.

Sejak itu dia telah mengubah hidupnya. Dia sekarang menjadi pembicara publik yang membantu melawan ide-ide ekstremis dan mengurangi ancaman teroris.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ahmad Nurwahid, menyadari pentingnya melibatkan mantan narapidana dalam program pencegahan dan deradikalisasi.

“Ada pepatah yang mengatakan ‘hanya kaum radikal atau eks-radikal yang memahami apa yang ada dalam pikiran seorang radikal’,” kata Ahmad seraya menambahkan bahwa partisipasi mantan narapidana dalam program deradikalisasi dapat membantu mengatasi keengganan narapidana untuk berpartisipasi. ambil untuk mengatasinya.

“Orang-orang yang pernah mengalami radikalisasi lebih mampu menjelaskan situasi yang mereka alami kepada para narapidana teroris. Karena teroris yang direhabilitasi pernah menjadi radikal, maka para narapidana tidak akan segan-segan (berbicara dengan mereka),” ujarnya.

Perjalanan menuju ekstremisme

Saifuddin telah gemar membaca sejak masa remajanya. Ia menghabiskan tahun-tahun pertumbuhannya di pesantren Gontor di Ponorogo, Jawa Timur, di mana ia mulai membaca buku-buku yang menganjurkan ide-ide ekstremis.

“Buku-buku tersebut tidak dijadikan bahan ajar, namun dijual bebas di koperasi sekolah. Buku-buku tersebut mengobarkan idealisme saya tentang bagaimana menghadapi penguasa yang tidak adil,” kata ulama berusia 55 tahun itu.

Saifuddin percaya bahwa semua umat Islam harus hidup berdasarkan syariah. Keimanannya semakin kuat ketika ia ditugaskan di pesantren Al-Mukmin di Solo, Jawa Tengah, untuk tugas mengajar pada tahun 1984 hingga 1985. Di sana ia bergabung dengan gerakan rahasia Negara Islam Indonesia (NII) yang berupaya mendirikan negara Islam. .

Beliau berangkat ke Suriah selama setahun pada tahun 1986 untuk meningkatkan kemampuan bahasa Arabnya, kemudian ke Yordania selama 1,5 tahun untuk mempelajari pendidikan Islam. Dia kemudian bergabung dengan ribuan pejuang asing untuk melawan invasi Soviet ke Afghanistan. Pada tahun 1990-an, ia belajar di Universitas Umm Al-Qura di Mekkah, Arab Saudi, sebelum kembali ke Surakarta untuk mengajar di pesantren yang berafiliasi dengan JI. Pada saat itulah dia menyembunyikan teroris Malaysia.

Narapidana teroris lain yang juga menjalani rehabilitasi, Arif Budi Setyawan alias Arif Tuban, menceritakan perjalanan serupa. Radikalisasinya bermula dari ketertarikannya pada buku-buku ekstremis saat bersekolah di pesantren Al-Islam di Lamongan, Jawa Timur. Dia tidak lulus sekolah karena masalah kesehatan dan kemudian menyelesaikan program kesetaraan sekolah menengah pertama.

Namun, ia tetap berhubungan dengan beberapa orang dari sekolah lamanya yang mengundangnya untuk mengikuti kelompok belajar agama. Beberapa tahun kemudian diketahui bahwa kelompok tersebut merupakan bagian dari JI.

“Tiba-tiba, satu bulan setelah bom Bali (2002), kelompok tersebut menghentikan aktivitasnya. Saya curiga karena aktivitas terhenti di beberapa tempat, tidak hanya di satu tempat,” kata warga Tuban berusia 39 tahun itu.

Saat itu, banyak media yang memberitakan bahwa JI berada di balik pengeboman tersebut. Arif memutuskan untuk mengunjungi seorang khatib yang ikut dalam kegiatan kelompok tersebut untuk menanyakan hal tersebut. “Dia bilang: ‘Kami Jemaah Islamiyah’,” kata Arif mengutip khatib tersebut.

Alih-alih berusaha melepaskan diri dari JI, Arif malah berusaha mendukung aspirasi kelompok teroris tersebut. Dia memulainya dengan membantu merekrut orang untuk mengikuti pelatihan paramiliter teroris di Aceh. Polisi membubarkan kamp pelatihan pada bulan Februari 2010, namun Arif tidak ditangkap.

Pada tahun 2014, ia ditangkap di Jakarta Selatan dengan tuduhan memasok senjata ke kelompok teroris di Poso. Dia divonis empat tahun sepuluh bulan penjara, namun baru menjalani hukuman tiga tahun empat bulan setelah mendapat pengampunan.

Tanggung jawab berkelanjutan

Densus 88 menangkap 370 tersangka teroris pada tahun 2021, meningkat dari tahun sebelumnya, namun para ahli mengatakan upaya ini harus dilengkapi dengan program rehabilitatif dan preventif, termasuk yang melibatkan narapidana terorisme yang direformasi.

“Mereka punya pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan, ada mata kuliah yang disebut studi terorisme dan keamanan. Namun, mereka lebih berpengalaman karena pernah berada dalam jaringan (teroris),” kata Boaz Simanjuntak, peneliti di organisasi pencegahan teror Ruangobrol.

Boaz menambahkan bahwa Ruangobrol telah membantu “suara-suara yang kredibel,” merujuk pada narapidana terorisme yang direhabilitasi dan individu yang telah mengatasi radikalisasi, untuk berbagi cerita.

“Ustadz Abu Fida merupakan salah satu tokoh penting di Jawa Timur yang berperan dalam mengurangi potensi ancaman terorisme dengan menawarkan ilmu alternatif,” kata Boaz.

BNPT membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) untuk membantu mencegah radikalisasi di tingkat provinsi. Organisasi tersebut telah mengundang para tahanan terorisme yang telah direformasi untuk berbicara di acara-acara tertentu.

Laporan tahun 2020 oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul Terorisme, Residivisme, dan Pembebasan Terencana di Indonesia menemukan bahwa dari 825 pria dan wanita yang dihukum karena terorisme dan dibebaskan di negara tersebut dari tahun 2002 hingga Mei 2020, 94 orang mengulangi pelanggarannya. .

Boas mengatakan penyelesaian masalah residivisme memerlukan bantuan semua orang dan pemerintah tidak mungkin bertindak sendiri.

“Setelah narapidana selesai menjalani hukumannya, aktor negara dan non-negara yang terlibat dalam pencegahan terorisme harus bisa mengaksesnya secara pribadi. Ini bukan hanya demi menjaga keamanan, tapi juga untuk memastikan mereka tidak kembali beraktivitas sebelumnya,” kata Boaz.

Meningkatkan kesadaran: Saifuddin Umar (kanan) dan Arif Budi Setyawan (paling kanan) berbicara dengan generasi muda Indonesia tentang terorisme di Surabaya pada bulan September 2019. (Atas izin Kreasi Prasasti Selamat/Outreach Project) (Outreach Project/Atas izin Kreasi Prasasti Selamat)

Keluarga dulu

Keluarga berperan penting dalam mengubah pola pikir Saifuddin. “Saya telah melakukan banyak percakapan dengan saudara-saudara saya. Mereka tidak menghakimi saya,” katanya.

Sejak dibebaskan, Saifuddin diundang untuk berbicara di berbagai acara yang bertujuan membantu mencegah radikalisasi. Ia juga membantu para narapidana terorisme untuk lepas dari kekerasan.

“Saya mencoba berbicara dengan lima sampai 10 narapidana di Lapas Lamongan dan Porong. Saya mengamati karakter mereka masing-masing karena tidak semuanya memiliki kepribadian yang sama. Akhirnya sikap mereka melunak,” kata lulusan magister baru Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.

Pada tahun 2020, Saifuddin bersama beberapa mantan narapidana di Jawa Timur mendirikan yayasan bernama Fajar Ikhwan Sejahtera (FIS).

“Tujuannya untuk menjalin silaturahmi dan mentransformasikan organisasi menjadi dunia baru kita agar kita tidak kembali ke aktivitas sebelumnya. Kami sosialisasikan ke ormas lain di Jatim karena kami tidak eksklusif,” ujarnya.

Arif Tuban juga turut serta dalam pencegahan radikalisasi dan residivisme dengan tetap menjaga hubungan dekat dengan keluarganya.

Pada tahun 2019 hingga 2020, Arif berpartisipasi dalam proyek sosialisasi Ruangobrol. Dia membimbing lima tahanan terpidana terorisme yang melakukan perjalanan ke Suriah untuk berperang bersama ISIS.

“Empat dari mereka mengatakan kepada saya, ketika tanggal pembebasan mereka semakin dekat, mereka khawatir rekan bisnis mereka akan pergi,” kata Arif.

Salah satu narapidana enggan bertemu dengan Arif karena khawatir akan dilecehkan oleh narapidana lain yang masih teradikalisasi.

“Akhirnya saya meyakinkan dia bahwa dia tidak akan sendirian setelah dibebaskan karena sesama mantan tahanan teroris akan membantunya. Dan (saya bilang padanya) saya ingin sekali menjadi mentornya,” kata Arif.

Arif mengaku keluarganya berperan penting dalam keputusannya keluar dari jaringan teror. Setelah penangkapannya, dia mulai mempertimbangkan kembali konsekuensi tindakannya.

“Saat saya ditangkap, keluarga saya juga menderita karena perbuatan saya. Penderitaan mereka membuat saya bertanya-tanya tentang dampak dari apa yang saya perjuangkan. Dampak negatifnya lebih banyak dibandingkan dampak positifnya,” kata Arif.

game slot pragmatic maxwin

By gacor88