Jokowi setuju dengan pencopotan hakim konstitusi yang kontroversial

24 November 2022

JAKARTA – Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyetujui pemecatan hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto yang kontroversial dan penunjukan Guntur Hamzah sebagai penggantinya, yang menurut kelompok masyarakat merupakan preseden mengkhawatirkan yang melemahkan independensi peradilan.

Guntur, mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung, ditunjuk oleh DPR pada akhir September untuk menggantikan Aswanto, yang pernah menjabat dua kali di DPR dan seharusnya mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2029.

Pemecatan Aswanto memicu tuduhan penyimpangan legislatif, karena undang-undang yang berlaku tidak memberikan wewenang kepada pembuat undang-undang untuk memberhentikan seorang hakim. Mereka menyatakan bahwa seorang hakim hanya dapat diberhentikan dengan keputusan presiden jika ada permintaan dari ketua pengadilan.

Guntur mengambil sumpah jabatan dalam sebuah upacara di Istana Negara pada hari Rabu, yang dihadiri oleh Jokowi.

“Saya mohon doanya kepada teman-teman semua, media, jurnalis. Mohon doanya semoga saya dapat menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya,” kata Guntur kepada wartawan usai upacara.

Disinggung kontroversi pemecatan Aswanto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan presiden “tidak bisa mengubah keputusan DPR”, termasuk keputusannya mengganti Aswanto dengan Guntur.

“Kalau kita lihat UU MK, ada kewajiban administratif bagi presiden yang sedang menjabat untuk menyikapi keputusan DPR (dengan mengesahkannya) melalui keputusan presiden. Oleh karena itu, ini merupakan kewajiban administratif yang harus dipenuhi oleh Presiden,” tambah Pratikno.

Upacara pada hari Rabu tersebut dihadiri oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman – yang menikah dengan saudara perempuan Jokowi, Idayati, pada Mei tahun lalu. Anwar enggan mengomentari pemecatan Aswanto dan mengatakan: “Demi keadilan, saya tidak diperbolehkan mengomentari apa yang terjadi. Hakim hanya berbicara melalui keputusan mereka.”

Pelantikan Guntur terjadi hanya beberapa jam sebelum Mahkamah memutuskan untuk menolak petisi yang menentang revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tahun 2020 yang menaikkan batas masa jabatan hakim dari 10 tahun – dalam dua, lima tahun masa jabatan – menjadi 15 tahun. Pengadilan juga menolak petisi yang meminta agar hakim yang menjabat dilindungi dari penggantian atau pemberhentian selama masa jabatannya.

Rapat DPR pada akhir September mencopot Aswanto dari jabatannya setelah Komisi III DPR yang membidangi hukum dan hak asasi manusia melakukan pemungutan suara tertutup untuk memilih Guntur menggantikan Aswanto.

Seorang anggota parlemen senior mengatakan pada saat itu bahwa Aswanto digantikan karena “kinerjanya yang mengecewakan” dan kurangnya komitmen terhadap DPR. Aswanto bergabung dengan mayoritas lima hakim yang menganggap Undang-Undang Cipta Kerja – yang merupakan inti kontroversial dari agenda reformasi ambisius Jokowi – “inkonstitusional secara kondisional”.

Pada sidang paripurna yang sama, DPR kembali merencanakan peninjauan kembali UU Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung mengevaluasi hakim yang bertugas setiap lima tahun sekali.

Kelompok masyarakat dan para ahli mengatakan bahwa tindakan Jokowi dan DPR telah menjadi preseden yang mengkhawatirkan karena melemahkan independensi lembaga peradilan.

Titi Anggraini dari Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), sebuah lembaga pengawas demokrasi, menggambarkan legitimasi presiden atas keputusan inkonstitusional DPR sebagai “serangan terbuka terhadap supremasi hukum dan Konstitusi”.

“Apa yang terjadi tentu akan berdampak pada hakim-hakim lain yang tidak ada jaminan bebas bekerja, karena sewaktu-waktu bisa diberhentikan. Mereka dipandang (di mata presiden dan legislatif) sebagai pemegang mandat yang setia kepada lembaga yang menunjuk mereka,” kata Titi kepada The Jakarta Post.

Nicky Fahrizal dari Center for Strategic International Studies (CSIS) yang berbasis di Jakarta tidak yakin dengan alasan yang membenarkan tindakan Jokowi, dan mengklaim bahwa Presiden memang mempunyai kekuatan untuk menentang keputusan DPR yang menghapuskan pekerjaan piring tersebut.

Pakar konstitusi Bivitri Susanti menggambarkan pemecatan Aswanto sebagai contoh terbaru dan paling jelas dari “legalisme otokratis”, karena hampir semua lembaga yang memiliki kekuasaan pengawasan terhadap pemerintah – seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DPR, masyarakat sipil, dan sekarang Konstitusi. Pengadilan – telah dirusak.

Pakar Feri Amsari mengatakan, pencopotan Aswanto menjadi preseden yang mengkhawatirkan bahwa sembilan hakim dapat dirombak sesuai keinginan Presiden, DPR, atau Mahkamah Agung.

“Jadi nanti kita akan berada dalam keadaan yang sangat memalukan (…) dimana kita punya konstitusi, tapi tidak digunakan atau dihormati,” kata Feri.

Data SGP Hari Ini

By gacor88