5 Desember 2022
JAKARTA – Setelah sebelumnya mengisyaratkan akan membuat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) khusus bagi masyarakat mampu di bawah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa fasilitas universal coverage hanya mencakup kebutuhan kesehatan dasar. (KDK).
“Di Indonesia kita punya paket yang disebut KDK, yang bisa diakses oleh masyarakat miskin, kaya, muda, dan lanjut usia,” kata Budi, seperti dikutip dari Antara. Kompas pada hari Selasa.
Meskipun Menteri tidak mengungkapkan apa saja yang termasuk dalam KDK, ia menggarisbawahi bahwa cakupannya akan dijaga seminimal mungkin untuk membatasi dampaknya terhadap kas negara.
Misalnya, kata dia, paket layanan dasar meliputi pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi untuk pengobatan kanker, namun tidak mencakup pengobatan imunoterapi yang harganya lebih mahal.
Bagi masyarakat miskin, paket khusus ini ditanggung oleh negara, namun bagi masyarakat kaya harus bergantung pada asuransi swasta, kata Budi.
Rahmad Handoyo, anggota Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan dan ketenagakerjaan, mengatakan kelas rawat inap standar (KRIS) akan menggantikan paket asuransi tiga tingkat BPJS Kesehatan saat ini, yang mengkategorikan pelanggan berdasarkan premi yang dibayarkan.
“Pelayanan dasar akan terstandarisasi, masyarakat kaya dan miskin mendapatkan tingkat layanan yang sama dengan harga yang sama,” kata Rahman. Jakarta Post.
Ia senada dengan Budi, seraya menambahkan bahwa lebih banyak pelanggan kaya yang memerlukan perawatan spesialis yang tidak tercakup dalam KRIS harus mengambil polis asuransi swasta.
Pelayanan kesehatan yang adil
Klarifikasi Budi muncul setelah ia menuai kritik keras atas komentarnya pada rapat DPR bulan lalu, yang mengatakan bahwa orang kaya akan memiliki program JKN sendiri.
“Kami berharap mereka yang mampu secara finansial tidak mengenakan pajak kepada BPJS atau negara, tapi (sebaliknya) membiayai pengobatannya sendiri melalui (asuransi swasta),” kata Menkes dalam pertemuan itu.
Budi menambahkan bahwa ia telah mendengar keluhan mengenai masyarakat kaya yang memanfaatkan skema asuransi kesehatan BPJS Kesehatan, dan hal ini berkontribusi pada utang jangka panjang lembaga tersebut.
Ia juga menyarankan dalam pertemuan tersebut agar dilakukan pengecekan data 1.000 pelanggan JKN teratas, termasuk tagihan listriknya, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi keuangan mereka.
Menekankan pentingnya pemerataan akses terhadap layanan kesehatan, pakar kesehatan Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany memperingatkan bahwa pernyataan menteri tersebut berisiko meningkatkan kesenjangan kesehatan.
“Sebelum ada JKN, kami bekerja dengan sistem pasar. Ketika (individu) dan perusahaan mengeluarkan biaya sendiri, rumah sakit dan dokter cenderung berbondong-bondong ke kota-kota besar,” kata Hasbullah. Pos. Dengan memaksakan pembedaan antara si kaya dan si miskin, kesehatan nasional bisa kembali ke kondisi kesenjangan seperti ini, katanya.
Namun, Rahmad yakin pernyataan menteri tersebut bukan mengenai diskriminasi antara kaya dan miskin, melainkan lebih pada upaya membuat lembaga layanan kesehatan lebih berkelanjutan dengan mengurangi utangnya.
“Kalau BPJS (Kesehatan) berjalan defisit, masyarakatlah yang menderita. Rumah sakit mungkin akan memberikan prioritas yang lebih rendah kepada pemegang polis JKN karena lembaga tersebut berutang triliunan kepada rumah sakit, sehingga tidak mengherankan jika pasien BPJS ditolak dan pelayanannya kurang optimal,” ujarnya.
Rahmad juga menambahkan bahwa penting bagi lembaga tersebut untuk mengumpulkan dana tambahan dengan mendaftarkan lebih banyak warga kaya dan memastikan bahwa premi mereka disesuaikan dengan keuangan mereka. Hal ini bahkan lebih penting karena badan tersebut berencana untuk meningkatkan pembayarannya ke rumah sakit tahun depan karena inflasi.
Menteri Kesehatan Budi mengatakan pekan lalu: “(Pembayaran) akan meningkat mulai 1 Januari, dan jumlahnya akan bervariasi. Peningkatannya rata-rata sekitar 12 persen, namun beberapa rumah sakit mengalami peningkatan hingga 30 persen.”
Ia mengatakan, kenaikan pembayaran ke rumah sakit ini tidak akan menyebabkan kenaikan premi hingga tahun 2025, sesuai instruksi Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Pada saat itu, BPJS Kesehatan diharapkan telah sepenuhnya menerapkan skema KRIS sebagai upaya untuk menjamin keberlanjutan dan menjamin layanan kesehatan dasar bagi seluruh masyarakat.
“Berdasarkan penyesuaian yang kami (rencanakan skema KRIS), kami berharap setidaknya BPJS bisa dipastikan tidak defisit hingga tahun 2024,” tambah Budi.
Badan yang terkepung ini telah mencatat kerugian besar sepanjang sejarahnya, dengan defisit sebesar Rp 51 triliun (US$3,3 miliar) pada tahun 2019 dan Rp 5,69 triliun pada tahun 2020. Badan ini baru mulai membalikkan keadaan tahun lalu, ketika mereka mengalami surplus sebesar Rp 38,76 triliun.