19 November 2018
Hukum Syariah kembali menjadi berita utama ketika berbagai pihak memperdebatkan manfaatnya dan perlunya sekularisme.
Pernyataan Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, bahwa partainya menentang peraturan berbasis agama, menghidupkan kembali kontroversi seputar penyebaran peraturan yang bernuansa syariah di berbagai wilayah di tanah air.
“PSI akan mencegah terjadinya ketidakadilan, diskriminasi dan segala tindakan intoleransi di negeri ini. PSI tidak akan pernah mendukung peraturan berbasis Injil atau peraturan berbasis syariah,” kata Grace pekan lalu saat merayakan ulang tahun keempat PSI.
Komentarnya muncul ketika beberapa politisi lokal di beberapa daerah berjanji untuk memperkenalkan peraturan “moralitas” dalam apa yang menurut para analis merupakan upaya untuk memenangkan suara pada pemilu legislatif tahun 2019, khususnya dari pemilih Muslim.
Pernyataan tersebut menuai kritik dari kelompok Islam yang menuduh Grace melakukan penistaan agama dan dari partai-partai lama baik dalam koalisi yang berkuasa maupun oposisi, yang dengan cepat membela peraturan berbasis syariah.
“Dia tugas wajib (kewajiban kolektif) bahwa harus ada partai politik yang fokus menerapkan prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,” kata Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy dalam postingan Instagram, Sabtu. Oleh karena itu kami di PPP akan terus menjaga kebijakan syariah, karena bagi kami penganut prinsip syariah merupakan cerminan Pancasila yang tercermin dalam semangat ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketua Umum Partai Gerindra Sodik Mudjahid mengamini pernyataan Romy yang menyatakan hukum berbasis syariah sejalan dengan nilai-nilai ideologi negara Pancasila.
Nilai-nilai syariat Islam dan agama-agama lain di Indonesia merupakan jiwa dan pilar sila Pancasila, ujarnya. Jakarta Post pada hari Minggu.
“Orang yang mengatakan syariah harus diperjuangkan karena bertentangan dengan Pancasila, padahal mereka tidak memahami sejarah, hakikat, falsafah, dan isi Pancasila.”
Suhud Aliyudin, ketua eksekutif Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga menegaskan kembali dukungan partainya terhadap peraturan perundang-undangan berbasis syariah, dan menambahkan bahwa peraturan yang dianggap tidak toleran dapat digugat di pengadilan. “Jika ada yang tidak setuju (dengan suatu peraturan syariah) atau meyakini hal itu menimbulkan intoleransi, maka harus membuktikannya di pengadilan melalui peninjauan kembali.”
Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan anggota tim kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin, mengatakan bahwa PDI-P menentang peraturan berbasis agama yang bersifat “eksklusif” yang sering kali mengarah pada diskriminasi. memimpin. .
“Kami mendukung peraturan syariah yang bersifat universal, seperti yang memerangi kemiskinan dan kebodohan. Kami juga mendukung regulasi yang spesifik namun opsional seperti regulasi perbankan syariah,” ujarnya. “Tetapi kami tidak setuju dengan peraturan eksklusif yang bersifat diskriminatif, misalnya peraturan yang membatasi perempuan keluar rumah pada malam hari dan peraturan yang menciptakan segregasi agama.”
Anggota DPR dari Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengatakan bahwa masalah ini adalah masalah yang sensitif, namun “peraturan daerah pada prinsipnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi yang ada”.
“Peraturan harus melindungi persatuan dan keberagaman nasional kita.”
Peraturan syariah sangat populer di kalangan umat Islam di Indonesia, dengan 90,9 persen dari 1.620 responden dalam survei Institute for Southeast Asian Studies tahun 2017 mengatakan ada manfaat menerapkan hukum syariah.
Penelitian yang dilakukan oleh analis politik Universitas London Michael Buehler menemukan bahwa 443 peraturan berbasis syariah diterbitkan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota antara tahun 1998 dan 2013. Peraturan tersebut disahkan oleh kepala daerah dan dewan legislatif dari partai sekuler dan Islam.
Dalam bukunya tahun 2016, Politik Hukum Syari’ah, Buehler berpendapat bahwa dukungan politisi terhadap peraturan dan perundang-undangan berbasis syariah lebih disebabkan oleh pertimbangan politik dibandingkan ideologi atau agama. “Elite negara di Indonesia adalah kelompok Islam oportunis yang kecintaannya terhadap hukum Islam kurang bersifat emosional dibandingkan transaksional,” tulisnya.
Survei yang dilakukan pada tahun 2015 oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) juga menemukan bahwa kepentingan politik merupakan faktor utama dalam penerapan peraturan syariah, dimana sebagian besar peraturan yang ditinjau oleh studi di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah disahkan. pada masa kampanye pemilihan kepala daerah.